Resep Nastar Daun
Akhir-akhir ini saya mengamati penumpang bus Transjakarta, dan mulai menemukan banyak ketidakpedulian mereka pada wanita hamil, orang yang berusia lanjut atau ibu bersama anaknya. Kondisi ini dulu jarang saya temukan. Penumpang bus Trans-J, menurut saya cukup beretika dibanding penumpang KRL. Pengalaman saya dan Ibu menggunakan KRL ketika pergi ke Cilebut, didalam gerbong khusus wanita ini, tak seorang pun penumpang bersedia berdiri dan mempersilahkan Ibu yang sudah jelas-jelas berusia lanjut untuk duduk. Padahal kebanyakan masih sangat muda, kisaran usia dua puluh hingga tiga puluh tahunan. Saya harus berteriak, "Tolong dong kursinya, untuk orang tua ya," baru kemudian ada yang malas-malasan berdiri.
Berbeda dengan penumpang bus Transjakarta, sehari-hari menaiki moda transportasi ini membuat saya jadi bisa membandingkan. Biasanya ketika ada manula, wanita hamil atau ibu yang membawa anak, penumpang yang duduk didekat akan langsung berdiri dan mempersilahkan. Kemarin kondisi itu tidak terjadi. Seorang Ibu yang menggendong anaknya bersusah payah mempertahankan tubuh agar bisa berdiri dan penumpang disekitar memejamkan mata, berpura-pura tertidur. Untung petugas langsung sigap dan berteriak meminta kursi. Seorang wanita yang duduk didekat akhirnya berdiri ogah-ogahan dan dengan muka masam memberikan kursinya. Saya sendiri dalam kondisi berdiri, biasanya saya sama sekali tidak enggan memberikan kursi bagi mereka yang membutuhkan. Seharian duduk di kantor, tiga puluh menit berdiri di Transjakarta bukan masalah, hitung-hitung olah raga dan membakar kalori.
Berbeda dengan penumpang bus Transjakarta, sehari-hari menaiki moda transportasi ini membuat saya jadi bisa membandingkan. Biasanya ketika ada manula, wanita hamil atau ibu yang membawa anak, penumpang yang duduk didekat akan langsung berdiri dan mempersilahkan. Kemarin kondisi itu tidak terjadi. Seorang Ibu yang menggendong anaknya bersusah payah mempertahankan tubuh agar bisa berdiri dan penumpang disekitar memejamkan mata, berpura-pura tertidur. Untung petugas langsung sigap dan berteriak meminta kursi. Seorang wanita yang duduk didekat akhirnya berdiri ogah-ogahan dan dengan muka masam memberikan kursinya. Saya sendiri dalam kondisi berdiri, biasanya saya sama sekali tidak enggan memberikan kursi bagi mereka yang membutuhkan. Seharian duduk di kantor, tiga puluh menit berdiri di Transjakarta bukan masalah, hitung-hitung olah raga dan membakar kalori.
Betapa berbedanya ketika saya naik KRL di Jepang, kursi justru banyak yang kosong dan penumpangnya memilih berdiri. Saya pernah naik kereta bersama kakak, kebetulan hanya ada dua kursi kosong yang akhirnya ditempati kakak dan keponakan saya, Ellan. Saya terpaksa berdiri, namun penumpang disebelah kakak saya justru berdiri dan mempersilahkan duduk. Atau ketika saya naik KRL di Kuala Lumpur, betapa sigapnya penumpang menawarkan kursi ke mereka yang lebih tua atau membawa anak-anak. Padahal tidak ada petugas yang berjaga dan meminta kursi. Saat menaiki bus yang mirip dengan Transjakarta di Gothenberg, Swedia (bus Scania yang dipakai oleh Transjakarta memang berasal dari Swedia), tak ada satupun penumpang yang bersedia duduk di kursi prioritas. Kursi tersebut dibiarkan kosong karena diperuntukkan untuk mereka yang cacat, orang tua atau wanita hamil, padahal penumpang banyak yang berdiri. Mereka seakan malu harus duduk disana, karena kondisi masih sehat dan kuat berdiri.
Di tanah air, ketika saya naik KRL ke Bogor, di Minggu pagi dimana gerbong kosong melompong, seorang penumpang cewek masuk dan duduk di kursi prioritas. Dia terlihat sehat, usia masih dua puluhan, tidak hamil, tidak cacat dan memilih kursi prioritas dibandingkan seluruh kursi kosong untuk penumpang biasa. Tobat!
Rekan-rekan saya yang setiap hari naik KRL punya cerita horor yang luar biasa banyaknya. Menurut mereka gerbong khusus wanita justru jauh lebih kejam dibandingkan dengan gerbong campuran. Rekan kantor saya, Yuni, bercerita betapa susahnya penumpang berbagi kursi, bahkan saat hendak turun pun enggan bersiap-siap ketika stasiun sudah mendekat. "Stasiunnya didepan mata, si Mbak duduknya juga sudah diujung kursi. Mana kondisi desak-desakan, jalan kek ke dekat pintu! Baru berdiri pas waktu kereta berhenti didepan stasiun." Luar biasa, bahkan kursi kereta yang bukan milik pribadi saja susah dilepaskan agar bisa diduduki penumpang lainnya, padahal stasiun tujuan sudah tiba. "Lain kali bilang saja, Mbak dibawa saja sekalian kursinya," tukas saya gemas.
Adik saya, Tedy, rumahnya di Cilebut dan berkantor di Jakarta, setiap hari pergi dan pulang naik kereta. Suatu hari ketika hendak turun dari kereta, didorong seorang ibu yang juga hendak turun hingga adik saya jatuh dan kelingking jari kakinya patah. Si ibu yang egois dan tidak bertanggung jawab ini bahkan tidak datang meminta maaf atau berusaha membantu adik saya berdiri, tapi justru cepat-cepat kabur melarikan diri. Si ibu ini tidak peduli, jika Tedy kemudian harus ke rumah sakit dan menjalani operasi, tidak peduli jika adik saya harus cuti beberapa hari dari kantor. Apakah ini namanya the power of emak-emak? Saya merasa istilah itu benar-benar harus dihilangkan karena seakan menjadi pembenaran jika apapun yang dilakukan oleh emak-emak harus dibenarkan.
Mengapa ya kita menjadi masyarakat yang tidak peduli dengan sekitar kita seperti ini? Bukankah katanya kita ini adalah orang timur dengan adat yang santun? Tapi kenyataannya semakin hari semakin susah menemukan kesantunan dan kepedulian. Orang-orang menjadi egois dan semakin tidak peduli dengan kondisi orang lain, bahkan pada mereka yang membutuhkan. Justru di negara yang lebih maju atau yang tidak berbau ketimuran lebih memiliki kepedulian dan kepekaan yang tinggi. Tidakkah kita ingat, satu saat kita akan menjadi tua, tubuh tidak sekuat dulu dan membutuhkan kursi kala di transportasi umum. Wanita muda suatu saat akan hamil, memiliki anak dan membutuhkan kursi ketika di transportasi umum. Apakah kita harus menunggu saat itu tiba baru tersadar betapa kita membutuhkan orang lain untuk peduli sedangkan sebelumnya kita sama sekali tidak peduli pada mereka? Tobat dah jangan sampai kita seperti itu.
Wokeh saya akhiri curhat hari ini, menuju ke resep nastar jadul berbentuk daun yang saya share kali ini. Dulu, ketika saya masih kecil dan tinggal di Tanjung Pinang, tante-tante dari keluarga Ibu sangat jago memasak dan baking. Setiap Lebaran mereka akan membuat kue kering sendiri. Saat itu di Tanjung Pinang, semua rumah yang merayakan Lebaran pasti menyediakan kue kering di meja tamunya, seakan pemilik rumah akan merasa malu jika tamu datang tidak disuguhi makanan apapun. Nastar daun, kue semprit, dan telur gabus keju adalah tiga makanan wajib yang harus dibuat saat Hari Raya tiba. Ibu saya, satu-satunya di keluarga yang tidak mahir membuat kue, jadi tiga atau empat hari menjelang Lebaran beberapa tante akan datang ke rumah dan bergotong-royong membantu. Karena nastar menggunakan bahan premium dan mahal, biasanya kue ini tidak pernah hadir dirumah kami. Ibu hanya membuat kue bawang, telur gabus keju, kacang bawang dan kue semprit. Jenis-jenis kue yang murah meriah dan hasilnya segambreng.
Untungnya, salah satu tante yang rumahnya bersebelahan dengan rumah kami selalu menyediakan nastar daun. Ketika hari H tiba kami akan berbondong-bondong bertamu ke rumahnya, dan saya selalu mengincar nastarnya. Kue terenak yang pernah saya santap waktu itu dan tentu saja masih terenak hingga sekarang. Nastar daun yang berukuran jumbo dengan isi yang banyak ini begitu lumer dimulut dan lebih memuaskan dibandingkan nastar imut-imut yang kini lebih digemari.
Ingin mengulang nostalgia, saya pun berniat membuat nastar versi ini. Jepitan nastarnya saya beli di online shop, dan ternyata tidak banyak yang menjualnya. Saya hanya menemukan versi plastiknya bukan yang terbuat dari besi. Jepitan ini sudah ada didalam tas saya sejak beberapa bulan yang lampau dan baru weekend lalu berguna. Di dalam kulkas saya menemukan sebungkus selai nanas sisa membuat nastar yang entah kapan tahun, kondisinya masih bagus, mungkin sedikit expired tapi kandungan gula yang tinggi didalam selai dan kondisi dingin chiller membuatnya lebih bertahan. Sekaleng mentega Wisjman didalam kulkas hanya tersisa sekitar 100 gram, pas untuk satu resep adonan nastar. Sejak pagi saya sudah berkutat didapur membuat adonan, membentuknya dan disiang hari nastar jadul bentuk daun ini mengeluarkan semerbak harum yang hampir membuat saya membatalkan puasa.
Membuat nastar daun jauh lebih cepat dibandingkan nastar bulat berukuran kecil. Walau proses jepit menjepit cukup memakan waktu, namun semakin lama tangan saya semakin cekatan dan cepat. Sore harinya nastar-nastar ini saya kemas dalam tiga buah stoples dan kirim ke Mampang untuk adik saya Wiwin, Tedy dan Dimas. Kedua putri Tedy, Kirana dan Aruna penggemar berat nastar, saya yakin mereka akan menyukainya. Saya sendiri baru mencicipi sebuah nastar keesokan harinya kala berbuka puasa, dan rasanya maknyus!
Berikut proses dan resepnya ya.
Membuat nastar daun jauh lebih cepat dibandingkan nastar bulat berukuran kecil. Walau proses jepit menjepit cukup memakan waktu, namun semakin lama tangan saya semakin cekatan dan cepat. Sore harinya nastar-nastar ini saya kemas dalam tiga buah stoples dan kirim ke Mampang untuk adik saya Wiwin, Tedy dan Dimas. Kedua putri Tedy, Kirana dan Aruna penggemar berat nastar, saya yakin mereka akan menyukainya. Saya sendiri baru mencicipi sebuah nastar keesokan harinya kala berbuka puasa, dan rasanya maknyus!
Berikut proses dan resepnya ya.
Nastar Daun
Resep diadaptasikan dari blog Yenni's Cake
Untuk 33 buah
Tertarik dengan resep kue jadul lainnya? Silahkan klik link dibawah ini:
Kue Semprit
Kue Bawang
Telur Gabus Keju
Bahan:
Tertarik dengan resep kue jadul lainnya? Silahkan klik link dibawah ini:
Kue Semprit
Kue Bawang
Telur Gabus Keju
Bahan:
- 100 gram mentega Wijsman
- 150 gram margarine
- 90 gram gula bubuk
- 3 buah kuning telur
- 1/2 sendok teh garam
- 2 sendok teh vanilla extract
- 330 - 350 gram tepung terigu protein sedang/rendah
- 50 gram tepung maizena
- 50 gram susu bubuk
- 400 gram selai nanas
Bahan oles, aduk jadi satu:
- 3 butir kuning telur
- 1 sendok makan minyak goreng
- 1 sendok teh susu kental manis (optional)
- 1 tetes pewarna makanan kuning (optional)
Cara membuat:
Siapkan oven, set disuhu 170'C. Siapkan loyang datar, alasi permukaannya dengan kertas baking atau silpat. Sisihkan.
Siapkan mangkuk, ayak jadi satu tepung terigu, tepung maizena dan susu bubuk, sisihkan.
Siapkan selai nanas, buat bulatan lonjong seberat 12 gram (timbang agar ukurannya seragam), sebanyak 33 buah, sisihkan.
Siapkan mangkuk, masukkan mentega, margarine, gula bubuk dan garam. Kocok dengan mikser speed rendah hingga tercampur baik. Naikkan kecepatan menjadi sedang dan kocok hanya terlihat lembut saja (bukan mengembang dan berubah pucat). Over mixing akan membuat nastar melebar saat dipanggang
Masukkan kuning telur (satu persatu), kocok hingga tercampur baik sebelum menambahkan telur berikutnya.
Masukkan tepung terigu dalam 4 tahapan, aduk perlahan dengan spatula hingga tercampur baik.
Cek adonan, jika masih terlihat lembek dan lengket ketika disentuh dengan ujung jari, tambahkan sedikit tepung lagi hingga adonan terasa tidak lengket ketika dipencet dengan dua jari. Takaran tepung antara 330 - 350 gram jadi sesuaikan dengan kondisi adonan. Basah dan keringnya adonan tergantung dari kelembaban tepung dan lamanya mengocok adonan mentega (semakin lama dikocok maka tekstur adonan mentega semakin lembek dan encer).
Bagi adonan menjadi 33 buah masing-masing seberat 24 gram. Bulatkan dan tata di loyang. Tutup dengan kain selama adonan di loyang agar tidak kering dan pecah ketika dibentuk.
Membentuk nastar:
Siapkan alat jepit untuk nastar atau kue kering seperti gambar. Ambil sebuah bola adonan, letakkan di telapak tangan, pipihkan. Letakkan sebuah selai nanas ditengah adonan, tutup selai dengan adonan, gelindingkan perlahan di telapak tangan hingga berbentuk lonjong mulus. Rapikan ujung-ujungnya dengan ujung jari hingga berbentuk seperti daun yang runcing disatu ujungnya.
Jepit bagian tengah adonan dengan alat penjepit secara memanjang, kemudian jepit juga bagian samping-sampingnya menyirip seperti tulang daun, lakukan perlahan dengan gerakan lembut. Pastikan alat penjepit dibersihkan setelah dipakai menjepit sebuah nastar agar tidak lengket. Tata nastar di loyang.
Jepit bagian tengah adonan dengan alat penjepit secara memanjang, kemudian jepit juga bagian samping-sampingnya menyirip seperti tulang daun, lakukan perlahan dengan gerakan lembut. Pastikan alat penjepit dibersihkan setelah dipakai menjepit sebuah nastar agar tidak lengket. Tata nastar di loyang.
Masukkan loyang berisi nastar ke dalam oven, turunkan suhu ke 150'C (suhu terlalu tinggi akan membuat nastar pecah). Panggang hingga nastar mengeras (bukan berubah kecoklatan), sekitar 15 menit. Keluarkan dari oven, dinginkan.
Siapkan campuran kuning telur untuk olesan.
Jika nastar sudah agak dingin (jangan oles ketika masih panas karena nastar masih rapuh), oles permukaannya dengan kuning telur merata. Panggang kembali hingga nastar matang, permukaanya sedikit kecoklatan dan bagian bawah nastar agak gelap. Sekitar 25 - 30 menit. Keluarkan dari oven, diamkan sejenak, pindahkan ke rak kawat dan biarkan hingga nastar benar-benar dingin sebelum dimasukkan wadah tertutup.
0 Response to "Resep Nastar Daun"
Post a Comment